TUGAS
Tuesday, 3 May 2016
Tuesday, 22 March 2016
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
PACASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Pengertian Pancasila sebagai Suatu
Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri
dari berbagai unsur, masing-masing unsure mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
mempunyai tujuan yang sama, saling keterkaitan (interrelasi) dan ketergantungan
(interdependensi), sehingga merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Filsafat berasal dari bahasa yunani, yaitu philein
(cinta) dan sophos (kebenaran, hikmah atau bijaksanaan).Jadi kata
filsafat berarti cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan.
Pancasila sebagai sistem filsafat yaitu suatu
konsep tentang dasar negara yang terdiri dari lima sila sebagai unsur yang
mempunyai fungsi masing-masing dan satu tujuan yang sama untuk mengatur dan
menyelenggarakan kehidupan bernegara di Indonesia. Pancasila sebagai sistem filsafat atau sebagai dasar negara kita merupakan
sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa indonesia dapat mempersatukan kita, serta memberi
petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin dalam
masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
Kesatuan Sila-Sila Pancasila
1. Susunan Kesatuan Sila-sila
Pancasila Bersifat Organis.
Secara filosofis inti dan isi sila-sila Pancasila bersumber pada hakikat
dasar ontologis manusia yaitu sebagai monopluralis yang memiliki
unsur-unsur susunan kodrat yaitu jasmani dan rohani, sifat kodrat sebagai
mahluk individu sosial serta memiliki kedudukan kodrat sebagai pribadi yang
berdiri sendiri dan sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME. Hal ini terjadi
karena manusia (Rakyat Indonesia) sebagai
pendukung utama inti dari isi pancasila.Unsur hakikat manusia merupakan
kesatuan yang bersifat organis dan harmonis
2.
Susunan sila-sila Pancasila yang bersifat Hierarkhisdan
berbentukPiramidal.
Pengertian matematis piramidal digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkis sila-sila Pancasila merupakan rangkaian
tingkat dalam urutan luas (kuantitas) dan juga dalam isi sifatnya (kualitas).
Sedangkan makna hierarkhis adalah susunan pancasila sudah dikemas sedemikian
rupa sehingga urutannya tidak akan berubah.Pancasila merupakan suatu
keseluruhan yang bulat dan memenuhi sebagian sistem filsafat.
3.
Susunan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi.
Hakikatnya sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri,
akan tetapi pada setiap sila terkandung keempat sila lainya. Dengan kata lain
setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.
Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai Suatu Sistem
Secara
filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar
ontologis, dasar epistemologis, dan dasar oskologis sendiri yang berbeda degan
sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme,
komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam
sila satu sampai dengan sila lima merupakan cita-cita harapan dan dambaan
bangsa Indonesia yang akan diwujudkannya dalam kehidupan. Sejak dahulu
cita-cita tersebut telah didambakan oleh bangsa Indonesia agar terwujud dalam
suatu masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja,
dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam setiap tingkah laku dan
perbuatan setiap manusia Indonesia.
Dasar
Ontologis Sila-Sila Pancasila
Ontologi ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan
keberadaan (eksistensi) segala sesuatu: alam semesta, fisik, psikis, spiritual,
metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan Tuhan.Pada hakikatnya
dasar ontologis sila-sila pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
monoprularis,oleh karenanya hakikat dasar juga disebut antropologis.Subyek
pendukung pokok sila-sila adalah manusia itu sendiri yangn dijabarkan oleh
kelima sila-sila pancasila itu sendiri
Dasar Epistemologis Sila-Sila
Pancasila
Dasar Eptimologis Pancasila pada
hakikatnya tidak Dapat di piusahkan dengan dasar etimologisnya. Pancasila
sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai nilai dasarnya yaitu filsafat
pancasila (Soeryanto 1991 : 50). Oleh karena itu dasar etimoslogi pancasila
tidak pisahkan dengan konsep dasarnya tentan hakikat manusia. Terdapat tiga
persoalan mendasar dalam etismologi pancasila yaitu tentang sumber pengetahuan
pancasila,tentang teori kerbenaran pancasila,tentang watak pengetahuan manusia,
(titus,1984:20).
Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber
dan hakikat nilai secara kesemestaan.Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa
dengan ontologi dan epistemologinya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian
mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi: multi-eksistensial
dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan
mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang
psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual,
supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan
praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self), bahkan demi
tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi),
menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila
memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk
menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun
dilematika moral.
MAKALAH ADAT JAWA dan UNGGAH-UNGGUH
MAKALAH
TUGAS
KELOMPOK 8
ADAT
JAWA dan UNGGAH-UNGGUH
Disusun Oleh :
DECHINTA
WULANDARI 13187205008
IVAN TAMAYO 13187205030
BUDI SANTOSO 13187205038
SINTA KARUNIA
FEBRIANA 13187205041
STKIP
PGRI TULUNGAGUNG
Jl.
Mayor Sujadi Timur No. 7 Tulungagung
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam adat jawa dan unggah-ungguh.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Tulungagung,
Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ................................................................................................................. ii
Daftar
Isi .......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah........................................................................................... 1
1.3
Tujuan ............................................................................................................ 1
1.4
Manfaat ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Adat
............................................................................................. 2
2.2 Adat yang ada di Jawa
................................................................................... 2
2.3 Unggah-Ungguh bahasa
Jawa ........................................................................ 5
2.4 Tingkat tutur ngoko
........................................................................................ 6
2.5 Macam-macam basa Kromo
........................................................................... 8
BAB III KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan ....................................................................................................... 10
3.2 Saran
................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Jawa menggunakan bahasa
Jawa harus mengenal unggah-ungguh, akan tetapi sering terjadi kesalahan
dalam penggunaannya. Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, itu dapat
terjadi karena adanya beberapa faktor, misalnya
: kurangnya pengetahuan penutur tentang konsep unggah-ungguh dalam
berbahasa Jawa, kurangnya penguasaan kosa kata bahasa Jawa oleh penutur.
Biasanya hal ini dialami oleh pendatang yang telah lama menetap di luar Jawa
atau oleh kaum muda (khususnya anak-anak) yang belum mengerti dan menguasai
tentang unggah-ungguh.
Adat
menggunakan bahasa selain bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari atau bahasa
Jawa berupa ngoko, dikarenakan : (1) alasan keakraban antar pembicara ;
(2) kemungkinan adanya perbedaan wilayah asal antara penutur dan mitra tutur ;
(3) penggunaan bahasa ngoko lebih banyak digunakan sebab lebih mudah
dipahami dalam menyampaikan informasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa
pengertian adat?
2. Bagaimana
adat yang ada di Jawa?
3. Bagaimana
unggah-ungguh bahasa jawa?
4. Apa
macam-macam tinggkat tutur ngoko?
5. Apa
macam-macam basa kromo?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian adat.
2. Untuk
mengetahui adat yang ada di Jawa.
3. Untuk
mengtahui unggah-ungguh bahasa jawa.
4. Untuk
mengetahui tingkat tutur ngoko.
5. Untuk
mengetaui macam-macam basa kromo.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Adat
Adat adalah aturan,
kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah
yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat
pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia
tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum
adat.
Adat telah melembaga
dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan
lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan
senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat
menjadi cukup penting.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.
2.2 Adat yang ada di jawa
Suku
Jawa dikenal sebagai suku dengan jumlah populasi terbanyak di seluruh
Indonesia. Di manapun tempat di Nusantara, orang Jawa pasti selalu ada. Selain
dikenal memiliki pribadi yang ramah, orang-orang Jawa juga punya sejarah tradisi
dan kebudayaan yang luar biasa, sama seperti suku-suku lainnya. Hal ini
dibuktikan misalnya dengan banyaknya jenis tari, musik, rumah adat, dan upacara
adat yang dimilikinya.
Upacara
adat adalah suatu ritual yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok
masyarakat yang masih memiliki keterkaitan etnis, suku, maupun kebudayaan untuk
mencapai tujuan yang bersumber pada nilai-nilai leluhur dan nenek moyang
mereka. Di Jawa sendiri, ada beberapa upacara adat yang tergolong cukup unik
dan harus dikenalkan pada genarasi muda agar warisan nenek moyang ini tetap
lestari dan terjaga.
1.
Upacara Kenduren
Upacara adat Jawa yang pertama adalah
kenduren atau selametan. Upacara ini dilakukan secara turun temurun sebagai
peringatan doa bersama yang dipimpin
tetua adat atau tokoh agama. Adanya akulturasi budaya Islam dan Jawa di abad ke 16 Masehi membuat upacara ini mengalami
perubahan besar, selain doa hindu/budha yang awalnya digunakan diganti ke dalam
doa Islam, sesaji dan persembahan juga menjadi tidak lagi dipergunakan dalam
upacara ini. Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini
terbagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya:
Kenduren
wetonan (wedalan) adalah upacara kenduren yang digelar pada hari lahir seseorang (weton) dilakukan sebagai
sarana untuk memanjatkan doa panjang umur
secara bersama-sama.
Kenduren
sabanan (munggahan) adalah upacara yang dilakukan untuk menaikan leluhur orang Jawa sebelum memasuki bulan puasa.
Upacara kenduren ini umumnya
dilakukan di akhir bulan Sya,ban, sebelum ritual nyekar atau tabur bunga di makam leluhur mereka lakukan.
Kenduren
likuran adalah upacara kenduren yang digelar pada tanggal 21 bulan puasa dan dilakukan untuk memperingati
turunnya Al-Qur’an atau Nujulul Quran. Kenduren
ba’dan adalah kenduren yang digelar pada 1 Syawal atau saat hari Raya Idul Fitri yang tujuannya untuk menurunkan arwah leluhur ke tempat
peristirahatannya. Kenduren ujar
adalah ritual upacara yang digelar jika suatu keluarga
Jawa memiliki hajat atau
tujuan, misal ketika hendak berkirim doa pada arwah
leluhur, khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya.
Kenduren
muludan adalah upacara adat Jawa yang digelar setiap tanggal 12 bulan Maulud
dengan tujuan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
2.
Upacara Grebeg
Selain upacara kenduren, di Jawa juga
dikenal Upacara Grebeg. Upacara ini digelar 3 kali setahun, yaitu tanggal 12
Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal (bulan kesepuluh) dan 10 Besar (bulan kedua
belas). Upacara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur kerajaan terhadap
karunia dan berkah Tuhan.
3.
Upacara Sekaten
Sekaten merupakan upacara adat Jawa yang
digelar dalam kurun tujuh hari sebagai bentuk peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad. Berdasarkan asal usulnya, kata Sekaten yang menjadi nama upacara
tersebut berasal dari istilah Syahadatain, yang dalam Islam dikenal sebagai
kalimat tauhid. Upacara sekaten dilakukan dengan mengeluarkan kedua perangkat
gamelan sekati dari keraton, yaitu gamelan Kyai Gunturmadu dan gamelan Kyai
Guntursari untuk diletakan di depan Masjid Agung Surakarta.
4.
Upacara Ruwatan
Upacara ruwatan adalah upacara adat Jawa
yang dilakukan dengan tujuan untuk meruwat atau menyucikan seseorang dari
segala kesialan, nasib buruk, dan memberikan keselamatan dalam menjalani hidup.
Contoh upacara ruwatan misalnya yang dilakukan di dataran Tinggi Dieng. Anak-anak
berambut gimbal yang dianggap sebagai keturunan buto atau raksasa harus dapat
segera diruwat agar terbebas dari segala martabatnya.
5.
Upacara Perkawinan Tradisional Jawa
Dalam pernikahan adat Jawa dikenal juga
sebuah upacara perkawinan yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang
harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu ini, mulai dari siraman,
siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan,
nyantri, upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji
dadi, ritual kacar kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau
dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain sebagainya.
6.
Upacara Tedak Siten
Upacara tedak siten merupakan upacara
adat Jawa yang digelar bagi bayi usia 8 bulan ketika mereka mulai belajar berjalan.
Upacara ini dibeberapa wilayah lain juga dikenal dengan sebutan upacara turun
tanah. Tujuan dari diselenggarakannya upacara ini tak lain adalah sebagai
ungkapan rasa syukur orang tuanya atas kesehatan anaknya yang sudah mulai bisa
menapaki alam sekitarnya.
7.
Upacara Tingkepan
Upacara tingkepan (mitoni) adalah
upacara adat Jawa yang dilakukan saat seorang wanita tengah hamil 7 bulan. Pada
upacara ini, wanita tersebut akan dimandikan air kembang setaman diiringi
panjatan doa dari sesepuh, agar kehamilannya selamat hingga proses
persalinannya nanti.
8.
Upacara Kebo Keboan
Masyarakat Jawa yang mayoritas bekerja
sebagai petani juga memiliki ritual upacara tersendiri. Kebo-keboan –begitu
namanya, merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan untuk menolak segala bala
dan musibah pada tanaman yang mereka tanam, sehingga tanaman tersebut dapat
tumbuh dengan baik dan menghasilkan panen yang memuaskan. Dalam upacara ini, 30
orang yang didandani menyerupai kerbau akan diarak keliling kampung. Mereka
akan didandani dan berjalan seperti halnya kerbau yang tengah membajak sawah.
9.
Upacara Larung Sesaji
Upacara larung sesaji adalah upacara
yang digelar orang Jawa yang hidup di pesisir pantai utara dan Selatan Jawa.
Upacara ini digelar sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan
selama mereka melaut dan sebagai permohonan agar mereka selalu diberi
keselamatan ketika dalam usaha. Berbagai bahan pangan dan hewan yang telah
disembelih akan dilarung atau dihanyutkan ke laut setiap tanggal 1 Muharam
dalam upacara adat Jawa yang satu ini
2.3
Unggah-ungguh dalam Bahasa Jawa
Adanya tingkatan sosial di masyarakat dapat
di lihat dari dua segi: pertama dari segi kebangsawanan, dan kedua, dari segi
kedudukan sosial yang di tandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian
yang di miliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh
kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang lebih baik pula. Tetapi
ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikan yang baik namun taraf
perekonomiannya kurang baik. Dan sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikannya
kurang tapi memiliki taraf perekonomian yang baik.
Kuntjaraningrat
(1967:245) membagi masyarakat jawa menjadi 4 tingkatan, yaitu: 1. Wong cilik, 2. Wong sudgar, 3 priyayi dan
4. ndara. Sedangkan Clifford Geertz
membagi masyarakat jawa menjadi 3 tingkatan yaitu: 1. Priyayi, 2. Orang yang
berpendidikan dan bertempat tinggal di kota
dan 3. Petani dan orang kota yang tidak
berpendidikan. Dari kedua jenis penggolongan di atas jelas adanya perbedaan
tingkatan dalam masyarakat tutur bahasa jawa. Berdasarkan tingkatan itu, maka
dalam masyarakat jawa terdapat berbagai unggah-ungguh bahasa yang di gunakan
sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang di gunakan
di kalangan wong cilik tidak sama
dengan wong sudagar dan status di
atas mereka.
Perbedaan unggah-ungguh bahasa dapat juga
terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial
yang berbeda. Misalnya jika wong cilik
berbicara dengan priyayi atau ndara maka masing-masing menggunakan
variasi bahasa yang berbeda, pihak yang memiliki tingkat sosial yang rendah
akan menggunakan variasi bahasa yang lebih tinggi atau dalam bahasa jawa di
sebut bahasa karma inggil ketika
berbicara dengan yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi, sebaliknya
apabila orang yang memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi bebicara dengan
yang tingkatan sosoialnya lebih rendah maka bahasa yang di gunakan adalah
bahasa yang lebih rendah atau bahasa ngoko.
Unggah-ungguh yang penggunaanya berdasarkan
pada tingkatan-tingkatan sosial. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang di sebut unggah-ungguh ini menyebabkan penutur
dari masyarakat jawa tersebut untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat
sosial terhadap lawan bicaranya. Ada kalanya mudah, tetapi sering kali tidak
mudah. Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebih tinggi kedudukan
sosialnya tetapi usianya lebih muda. Atau sebaliknya, kedudukan sosialnya lebih
rendah tetapi lebih tua dari lawan bicaranya. Kesulitan ini ditambah pula
dengan semacam kode etik, bahwa seorang penutur tidak boleh menyebut dirinya
dengan tingkat bahasa yang lebih tinggi. Dengan demikian, dapat di lihat betapa
rumitnya pemilihan variasi bahasa untuk berbicara dalam bahasa jawa.
Bahasa Jawa sangat beragam, dan
keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun
melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal serta register
dalam bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang
mempelajarinya.
2.4
Macam-macam Tingkat
Tutur Ngoko
Yaitu unggah-ungguh bahasa jawa yang
berintikan kata ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam
ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa
dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara).
Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus
(Sasangka 2004:95).
a) Ngoko
Lugu
Yang dimaksud
dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya
berbentuk ngoko dan netral (kata ngoko dan netral) tanpa terselip kata krama,
krama inggil, atau krama andhap, baik untuk persona pertama (01), persona
kedua, persona kedua (02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
Bahasa
Jawa ngoko lugu digunakan apabila :
a.
Sesama teman
yang sudah akrab;
b.
Orang yang
drajadnya lebih tinggi kepada orang yang drajadnya lebih rendah (majikan kepada
bawahan);
c.
Untuk situasi
resmi yang memang membutuhkan bahasa Jawa ngoko (semisal tulisan di majalah
atau buku).
Contoh :
1) Yen
mung kaya ngono wae, aku mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2) Yen
mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3) Yen
mung kaya mengono wae, dheweke ya iso!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”
b) Ngoko Alus
Yang dimaksud
dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya
terdiri atas kata ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas kata krama
inggil, krama andhap, atau kata krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya
hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (orang ke 2 atau 3) (Sasangka
2004:99-100).
Penggunaan ngoko
alus, apabila:
a.
Teman akrab
namun saling menghormati (misalnya orang berpangkat kepada orang berpangkat);
b.
Orang tua yang
lebih tinggi derajatnya kepada orang yang masih muda, tetapi mereka sangat
akrab.;
c.
Saat sedang
bicara pada orang yang dihormati;
d.
Istri bicara
kepada suaminya (apabila menggunakan bahasa ngoko);
e.
Tulisan di majalah untuk menghormati orang yang membaca
Contoh:
1) Wingenane
simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin nenek ke sini’
2) Pak
guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan
asmane ‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk
menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).
2.5
Macam-macam basa Krama (Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama
adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan kalimat krama, atau
yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah kalimat krama bukan kalimat
yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama
(misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka
yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status
sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga bentuk varian,
yaitu krama lugu, karma andhap dan krama
alus (Sasangka 2004:104).
a. Krama
Lugu / Krama Madya
Secara
semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama
yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun
begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan
kadar kehalusan (Sasangka 2004:105). Contoh:
1) Niki
bathike sing pundi sing ajeng diijolake?‘
Batik ini yang mana yang akan
ditukarkan?’
2) Mbak,
njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan
dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm
unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di
atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka2004:108-109)
b.
Krama Alus / karma inggil
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk
unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas kalimat krama dan
dapat ditambah dengan kalimat krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu,
yang menjadi kalimat inti dalam ragam ini hanyalah kalimat yang berbentuk
krama. Kalimat madya dan kalimat ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat
tutur ini. Selain itu, kalimat krama inggil atau krama andhap –secara
konsisten- selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.
Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan
sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka
2004:111).
Contoh:
1) Arta
punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di
kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada
dipunlintokaken ‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sarangka
2004:113). Cafid (Pend. Bahasa dan Sastra Jawa Unnes).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Adat adalah aturan,
kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah
yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat
pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia
tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum
adat.
Jawa Upacara adat adalah suatu ritual yang
dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat yang masih memiliki
keterkaitan etnis, suku, maupun kebudayaan untuk mencapai tujuan yang bersumber
pada nilai-nilai leluhur dan nenek moyang mereka.
Masyarakat jawa terdapat berbagai unggah-ungguh
bahasa yang di gunakan sesuai dengan tingkat sosialnya. Unggah-ungguh dalam
masyarakat Jawa dapat digunakan dengan melihat lawan bicaranya dan cara
pengucapannya.
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan
kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Suharti. 2001. Pembiasaan
Berbahasa Jawa Krama dalam Keluarga Sebagai Sarana Pendidikan Sopan Santun.
Makalah Konggres. Yogyakarta: Konggres Bahasa Jawa III.
Subscribe to:
Comments (Atom)