MAKALAH
HUKUM PERNIKAHAN
DALAM ISLAM
KELOMPOK
7:
1.
Iva
fitrotul ngazizah (13187205022)
2.
David
aringga
(13187205023)
3.
Novi
yulia puspitasari (13187205028)
4.
Hadi
setyowawan (13187205029)
5. Setia hadi pranoto (13187205035)
STKIP
PGRI TULUNGAGUNG
JL.
Mayor Sujadi Timur 7 Tulungagung
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam.
Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi.
Makalah
ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang hukum pernikahan
dalam islam. Makalah ini kami susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa STKIP PGRI TULUNGAGUNG. Kami
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami
di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca.
Tulungagung, Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………………….....2
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………..3
Bab I : Pendahuluan
………………………………………………………………………. 4
1.1Latar
Belakang…………………………………………………………………….4
1.2 Rumusan
Masalah ………………………………………………………………..4
1.3 Tujuan
penulisan …………………………………………………………………4
Bab II : Pembahasan ……………………………………………………………………….5
2.1 Pengertian
Pernikahan …………………………………………………………...5
Dasar
Hukum Pernikahan…………………………………………………….5
Tujuan
Pernikahan……………………………………………………………7
2.2 Perihal
Perceraian dalam Pandangan Hukum Islam………………………………9
2.3 Tugas Keluarga
dalam Perspektif Hukum Islam…………………………………11
Bab III : Penutup……………………………………………………………………………15
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….15
3.2 Saran……………………………………………………………………………...15
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita
memandangnya dari dua buah sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah
perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran
sexs yang disahkan oleh agama. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang
melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan
untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi
kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan
biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan
bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya
dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita
lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam
al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa
kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan
sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun
lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana
setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan
terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang
sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin kami bahas
adalah:
1. Apa
pengertian dan tujuan pernikahan dalam islam?
2. Bagaimana
perceraian dalam pandangan hukum islam?
3. Apa
tugas keluarga dalam perspektif hukum islam?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan
tujuan pernikahan dalam islam.
2. Untuk mengetahui perihal
perceraian dalam pandangan hukum islam.
3. Untuk mengetahui tugas keluarga dalam perspektif hukum
islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul
dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad)
yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh
kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam
penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan Allah s.w.t. menjadikan
manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad.
Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak
mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah rosul. Setiap
makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun
perempuan (Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami
ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua
insan dengan jenis berbeda yaitu laki-laki dan perempuan
yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Dasar Hukum Pernikahan
1. Menurut Fiqh Munakahat
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam
surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
” Dan jika kamu takut
tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi,
dua, tiga atau empatdan jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, cukup sayu orang.”
(An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada
orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang
dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa
pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat
tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat
189 berbunyi
:
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan
daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf :
189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan
keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu
kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling
mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).
b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari
Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian
memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu,
hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
2. Menurut Undang – Undang
Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan yang rumusannya :
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.
3. Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Tujuan pernikahan
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan
adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu
dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat
kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang
dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk
Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama
dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai
para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa
(shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk
Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian),
jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah,
sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zhalim.”
Yakni keduanya
sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali
nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana
yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian
jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang
luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam
rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam
adalah wajib.
4. Untuk
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep
Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada
sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan
subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih
yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika
kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda
Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang
suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika
mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa
.? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari
Keturunan Yang Shalih
Tujuan
perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam,
Allah berfirman :
“Artinya : Allah
telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang
terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
2.2 Perihal Perceraian dalam Pandangan Hukum Islam
Rasulullah
bersabda “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian”.
Ini menunjukkan di satu sisi bahwa terkadang perceraian itu tidak bisa
dihindari sehingga jika ada satu pasangan yang memang tidak ada kecocokan masih
dipaksakan untuk terus, itu akan merugikan semua pihak. Maka dibolehkan
perceraian, tetapi diingatkan bahwa perceraian itu halal tapi paling dibenci
Allah.
Sehingga
perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan
yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah
satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang
tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.
Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan
tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di
antara kedua belah pihak, maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan
obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya. Oleh karena itu
dikatakan dalam pepatah, "Jika tidak mungkin bertemu, maka ya
berpisah." Al Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya
bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan
karunia-Nya..." (An-Nisa': 130)
Karena itu,
kalau masih bisa hidup bersama tanpa perceraian, maka pertahankan perkawinan
itu. Bahkan ada yang berkata seperti berikut , “Singgasana raja itu kita
ketahui betapa kokohnya. Terlebih singgasana Allah, kokohnya tidak dapat
terbayangkan. Jika terjadi perceraian maka singgasana Allah yang demikian hebat
kokohnya itu bergetar. Hal itu dapat diilustrasikan bahwa Allah sangat membenci
perceraian dan menahan amarahnya sehingga bergetarlah singgasananya. Bukankah
orang yang menahan amarahnya, tubuhnya gemetar dan singgasana tempat
bersemayamnya bergetar?” Nah, perceraian itu menyebabkan “bergetar Singgasana
Allah (Istazza asrurRahman)” karena Allah sangat membencinya. Tetapi kalau ada
kebutuhan yang mendesak yang tidak dapat terelakkan karena sifat-sifat dan
kekurangan-kekurangan manusia, maka diperbolehkan perceraian.
Walaupun
Islam menganjurkan perceraian bukan berarti boleh melakukan perceraian dengan
semaunya, akan tetapi harus ada alasan-alasan yang sah dan dapat dibenarkan
oleh syari’at Islam. Dari jenis alasan-alasan itu maka dijadikannya hukum
perceraian itu berbeda-beda. Tentang hukum perceraian ini dapat digolongkan
menjadi empat golongan:
1. Golongan yang menyatakan hukum asal perceraian itu makruh atau mendekati makruh. Pendapat ini dilegimitasi oleh Maliki.
2. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asal perceraian dikategorikan sebagai jaiz dan haram, yaitu boleh dan terlarang. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.
3. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asala perceraian adalah antara terlarang dan makruh. Pendapat ini dikemukan oleh al Kasani.
4. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukum asal perceraian adalah mubah.
Sedangkan apabila dilihat dari sudut latar belakang munculnya talak, maka talak terbagi dalam lima kategori :
1. Talak Wajib
Yakni talak yang dijatukan oleh hakam (penengah) karena perpecahan anatara suami istri yang sudah hebat, maka hakam berpendapat bahwa hanya talak yang merupakan jalan satu-satunya jalan untuk menghentikan adanya perpecahan itu.
2. Talak haram
Yakni apabial talak merugikan suami istri, dan apabila perbuatan talak itu tidak ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
3. Talak sunnah
Yakni apabila talak dilakukan karena salah satu pihak melalaikan atau mengabaikan kewajiban untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa dan lain sebagainnya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istrinya menjalankan kewajiban tersebut atau istri tidak punya rasa malu.
4. Talak mubah
Karena adanya suatu sebab istri tidak dapat menjaga diri dan harta suaminya dikala tidak ada suaminya atau karena istri tidak baik akhlak dan budipekertinya.
5. Talak makruh
Yakni talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri yang saleh atau yang berbudi mulia.
1. Golongan yang menyatakan hukum asal perceraian itu makruh atau mendekati makruh. Pendapat ini dilegimitasi oleh Maliki.
2. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asal perceraian dikategorikan sebagai jaiz dan haram, yaitu boleh dan terlarang. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.
3. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asala perceraian adalah antara terlarang dan makruh. Pendapat ini dikemukan oleh al Kasani.
4. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukum asal perceraian adalah mubah.
Sedangkan apabila dilihat dari sudut latar belakang munculnya talak, maka talak terbagi dalam lima kategori :
1. Talak Wajib
Yakni talak yang dijatukan oleh hakam (penengah) karena perpecahan anatara suami istri yang sudah hebat, maka hakam berpendapat bahwa hanya talak yang merupakan jalan satu-satunya jalan untuk menghentikan adanya perpecahan itu.
2. Talak haram
Yakni apabial talak merugikan suami istri, dan apabila perbuatan talak itu tidak ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
3. Talak sunnah
Yakni apabila talak dilakukan karena salah satu pihak melalaikan atau mengabaikan kewajiban untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa dan lain sebagainnya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istrinya menjalankan kewajiban tersebut atau istri tidak punya rasa malu.
4. Talak mubah
Karena adanya suatu sebab istri tidak dapat menjaga diri dan harta suaminya dikala tidak ada suaminya atau karena istri tidak baik akhlak dan budipekertinya.
5. Talak makruh
Yakni talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri yang saleh atau yang berbudi mulia.
2.3 TUGAS KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Dalam perspektif Islam, suami dan istri merupakan mitra dan
rekan kerja di tengah keluarga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi dengan membentuk keluarga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah
tangga sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis
untuk bekerjasama dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai
spiritualitas dan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan. Hal yang
mendominasi keluarga Islami adalah spirit kasih sayang dan solidaritas, bukan
ajang kompetisi dan konfrontasi. Suami dan istri harus melakukan
perkara-perkara kehidupan secara bersama-sama dan melangkah seirama. Masalah
ini menjadi mudah dengan pembagian kerja dan tanggung jawab dan pada akhirnya
akan menciptakan peluang untuk membangkitkan sentimen positif serta kesuksesan
dalam kehidupan berumah tangga Program
pertama suami-istri pasca pernikahan adalah pembagian kerja. Islam
memperkenalkan peran yang berbeda bagi para suami dan istri dengan
memperhatikan perbedaan fisik dan mental mereka dan dengan tujuan untuk
menciptakan peluang kerjasama di tengah keluarga. Ketenangan dan kedamaian
rumah tangga akan terjamin jika tugas-tugas tersebut ditunaikan dengan baik dan
benar. Kaum pria dan wanita memiliki
karakteristik yang berbeda dalam kehidupan dan untuk itu, mereka memikul
tugas-tugas yang berbeda pula. Suami adalah kepala keluarga, sementara istri
adalah sekjennya. Keluarga adalah ibarat sebuah rumah yang memiliki kerangka,
di mana pilar dan atapnya akan memperkokoh bangunan itu. Atapnya bertanggung
jawab untuk mencegah krisis, hujan dan beban-beban yang berat. Sementara
pilar-pilarnya bertugas menyangga atap. Menurut Islam, suami berfungsi sebagai
atap bangunan dan istri sebagai pilarnya. Atap tanpa pilar tidak akan berdiri
dan pilar tanpa atap tidak akan kokoh. Para suami harus siap
menghadapi berbagai tantangan di luar rumah mengingat mereka lebih kuat secara
fisik dan mental. Mereka harus mencegah semua badai yang akan menerpa bangunan
tersebut dan memberi perlindungan yang cukup. Jika para suami tidak siap, maka
berbagai krisis akan menembus dinding bangunan itu. Sementara para istri
berperan sebagai tiang bangunan. Lalu, apakah mungkin para istri memainkan
peran ganda dalam satu waktu? Perlu diingat bahwa ada serangkaian sifat intrinsik
dalam diri pria dan wanita dan tentu ini bukan sebuah keutamaan jika wanita
harus menjalankan peran pria atau pria memainkan peran wanita. Pembagian kerja dalam kehidupan
merupakan salah satu aturan yang ada di alam semesta dan akan menciptakan
keseimbangan kehidupan berumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga,
suami-istri masing-masing harus menerima sebagian tanggung jawab. Dalam
pembagian kerja, akal sehat dan maslahat menetapkan bahwa tugas-tugas yang
memerlukan kekuatan fisik harus dibebankan kepada kaum lelaki, sementara
kegiatan yang membutuhkan kelembutan dan kasih sayang harus diserahkan kepada
kaum wanita. Oleh karena itu, Islam menetapkan status ibu sebagai peran khusus
untuk wanita dan urusan mencari nafkah sebagai tugas khusus bagi seorang pria.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terkait pekerjaan rumah? Apakah Islam
menganggapnya sebagai kewajiban istri atau suami? Menurut perspektif Islam, istri –
dari segi moral, mental dan kejiwaan – lebih tepat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah. Akan tetapi, pada prinsipnya – menurut hukum Islam – sama sekali tidak
ada kewenangan yang membolehkan untuk membebani pekerjaan rumah kepada istri
dan dalam masalah-masalah seperti ini, ia memiliki kebebasan untuk memilih.
Satu-satunya tugas istri di rumah adalah melayani suami dan menyatakan
kesetiaan kepadanya. Sementara perkara-perkara seperti, menyusui, mencuci
pakaian dan membersihkan rumah, adalah bukan tugas istri. Imam Khomeini ra
mengatakan, "Suami tidak punya hak untuk memaksa istrinya mengabdi di
rumah." Meskipun
Islam tidak membebani pekerjaan-pekerjaan rumah kepada istri, namun melalui
pesan-pesan moralnya, menganjurkan mereka untuk memperhatikan urusan rumah
tangga dan menganggap tugas itu sebagai ibadah. Karena untuk menciptakan
keseimbangan di institusi keluarga, pembagian kerja merupakan sebuah
keniscayaan dan oleh sebab itu, suami bertanggung jawab untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang berat di luar rumah. Rasul Saw dalam sebuah pesannya
kepada kaum wanita, bersabda, "Setiap istri yang melakukan sebuah
pekerjaan di rumah suaminya dengan niat untuk memperbaiki urusan di rumah,
Tuhan akan memandangnya dengan rahmat dan orang yang ditatap dengan rahmat,
tentu ia tidak akan mendapat siksa." Mengenal praktik para
pemuka agama dalam mengelola urusan rumah tangga dan keterlibatan mereka di
dalam rumah, dapat menjadi teladan untuk memperkuat pondasi keluarga. Dalam
sebuah riwayat disebutkan, "Suatu hari, Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as
meminta pandangan Rasul Saw terkait pembagian kerja. Rasul Saw bersabda,
'Tugas-tugas di dalam rumah menjadi tanggung jawab Fatimah, sementara
pekerjaan-pekerjaan di luar rumah berada di pundak Ali.' Mendengar itu, Sayidah
Fatimah as dengan gembira berkata, 'Tidak ada yang mengetahui – selain Tuhan –
betapa senangnya aku atas pembagian tugas ini. Sebab, Rasul melarangku untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kaum lelaki atau mengharuskanku
untuk bolak-balik di tengah mereka.'" Ucapan
Sayidah Fatimah as dengan jelas memperlihatkan prinsip kesesuaian kerja dengan
para pelaksananya. Pada dasarnya, riwayat tersebut menunjukkan bahwa pria dan
wanita masing-masing memiliki tugas, tanggung jawab dan hak. Tuhan Yang Maha
Bijaksana telah menetapkan bentuk tanggung jawab, tugas dan hak yang sesuai
dengan kapasitas pria dan wanita. Tentu saja, pembagian ini tidak berarti
keunggulan satu pihak dan kerendahan pihak lain. Dari
sisi lain, manajemen rumah tangga merupakan sebuah keahlian dan bagian dari
pengabdian kepada suami yang memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Islam
mempermudah pekerjaan-pekerjaan rumah dengan meningkatkan motivasi spiritual
wanita dalam menatanya. Rasa lelah dan kepenatan akan hilang dari raut wajah
seorang istri ketika ia mengetahui bahwa semua pengabdiannya di rumah dihitung
sebagai ibadah dan untuk mendapatkan keridhaan Tuhan. Ia akan selalu semangat
untuk menata pekerjaan rumah, mengabdi kepada suami dan mengurusi anak-anak. Tidak
hanya itu, Islam juga mendorong suami untuk membantu sang istri dalam melakukan
tugas-tugas di rumah dan tidak menganggapnya semata-mata sebagai tugas istri.
Kebersamaan ini akan mempererat jalinan cinta dan solidaritas di antara
suami-istri. Ada banyak riwayat yang berbicara tentang partisipasi Imam Ali as
dalam membantu Sayidah Fatimah as di rumah. Imam Jakfar Shadiq as berkata,
"Amirul Mukminin (Imam Ali as) senantiasa mengumpulkan kayu bakar,
mengangkut air dan menyapu, sementara Fatimah menggiling gandum, mengaduk
adonan dan membuat roti." Islam
sejak awal menganggap wanita dari sisi kemanusiaan sejajar dengan pria dan
memberi peran istimewa kepada mereka baik di tengah keluarga maupun di tengah
masyarakat. Oleh karena itu, agama ini sama sekali tidak malarang kaum wanita
untuk terlibat kegiatan sosial dan berpartisipasi dalam urusan-urusan sosial
selama tidak menghalangi tanggung jawab utama mereka, atau mereka sendiri yang
memilih untuk fokus pada pekerjaan rumah. Islam memperkenankan wanita untuk
memikul beberapa bentuk kegiataan sosial yang sesuai dengan karakteristik fisik
dan mental mereka. Dalam budaya Islam, tugas utama wanita adalah berperan
sebagai istri dan ibu, sementara pekerjaan rumah adalah sebuah pilihan dan jika
dikerjakan, akan mendapat pahala ibadah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkawinan atau nikah menurut
bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah
ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mencari keturunan yang shalih yang mana keturunan
yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Perceraian dalam islam hukumnya halal tetapi paling
dibenci oleh Allah SWT.
Dalam perspektif Islam, suami dan istri merupakan mitra dan
rekan kerja di tengah keluarga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi dengan membentuk keluarga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah
tangga sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis
untuk bekerjasama dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai
spiritualitas dan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan.
3.2
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis
senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan
kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin Slamet,
Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung
: CV Pustaka Setia
