Friday, 3 October 2014


MAKALAH
HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM


KELOMPOK 7:
1.   Iva fitrotul ngazizah                       (13187205022)
2.   David aringga                                (13187205023)
3.   Novi yulia puspitasari                    (13187205028)
4.   Hadi setyowawan                           (13187205029)
5. Setia hadi pranoto                          (13187205035)


STKIP PGRI TULUNGAGUNG
JL. Mayor Sujadi Timur 7 Tulungagung


KATA PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Hukum Islam.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang hukum pernikahan dalam islam. Makalah ini kami susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa STKIP PGRI TULUNGAGUNG. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing  saya  meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  kami  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Tulungagung, Maret 2014

Penyusun











DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………….....2
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………..3

Bab I : Pendahuluan ………………………………………………………………………. 4
            1.1Latar Belakang…………………………………………………………………….4
            1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………..4
            1.3 Tujuan penulisan …………………………………………………………………4

Bab II : Pembahasan ……………………………………………………………………….5
            2.1 Pengertian Pernikahan …………………………………………………………...5
                        Dasar Hukum Pernikahan…………………………………………………….5
                        Tujuan Pernikahan……………………………………………………………7
            2.2 Perihal Perceraian dalam Pandangan Hukum Islam………………………………9
            2.3 Tugas Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam…………………………………11

Bab III : Penutup……………………………………………………………………………15
            3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….15
            3.2 Saran……………………………………………………………………………...15

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..16













BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disahkan oleh agama. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin kami bahas adalah:
1.      Apa pengertian dan tujuan pernikahan dalam islam?
2.      Bagaimana perceraian dalam pandangan hukum islam?
3.      Apa tugas keluarga dalam perspektif hukum islam?
1.3 Tujuan Penulisan
            1. Untuk mengetahui pengertian dan tujuan pernikahan dalam islam.
            2. Untuk mengetahui perihal perceraian dalam pandangan hukum islam.
            3. Untuk mengetahui tugas keluarga dalam perspektif hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karena tidak mengikuti sunnah rosul. Setiap makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.

 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
     
 Dasar Hukum Pernikahan
1. Menurut Fiqh Munakahat
a.         Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empatdan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf  : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah). 

b.      Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).

2.      Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya :
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.

3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
 Tujuan pernikahan
      1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
            Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
            “Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
                                                 
2.2 Perihal Perceraian dalam Pandangan Hukum Islam
Rasulullah bersabda “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian”. Ini menunjukkan di satu sisi bahwa terkadang perceraian itu tidak bisa dihindari sehingga jika ada satu pasangan yang memang tidak ada kecocokan masih dipaksakan untuk terus, itu akan merugikan semua pihak. Maka dibolehkan perceraian, tetapi diingatkan bahwa perceraian itu halal tapi paling dibenci Allah.                                                                  
Sehingga perceraian yang disyari'atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.
Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di antara kedua belah pihak, maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, "Jika tidak mungkin bertemu, maka ya berpisah." Al Qur'an Al Karim juga mengatakan:
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya..." (An-Nisa': 130)
Karena itu, kalau masih bisa hidup bersama tanpa perceraian, maka pertahankan perkawinan itu. Bahkan ada yang berkata seperti berikut , “Singgasana raja itu kita ketahui betapa kokohnya. Terlebih singgasana Allah, kokohnya tidak dapat terbayangkan. Jika terjadi perceraian maka singgasana Allah yang demikian hebat kokohnya itu bergetar. Hal itu dapat diilustrasikan bahwa Allah sangat membenci perceraian dan menahan amarahnya sehingga bergetarlah singgasananya. Bukankah orang yang menahan amarahnya, tubuhnya gemetar dan singgasana tempat bersemayamnya bergetar?”                                                                 Nah, perceraian itu menyebabkan “bergetar Singgasana Allah (Istazza asrurRahman)” karena Allah sangat membencinya. Tetapi kalau ada kebutuhan yang mendesak yang tidak dapat terelakkan karena sifat-sifat dan kekurangan-kekurangan manusia, maka diperbolehkan perceraian.
Walaupun Islam menganjurkan perceraian bukan berarti boleh melakukan perceraian dengan semaunya, akan tetapi harus ada alasan-alasan yang sah dan dapat dibenarkan oleh syari’at Islam. Dari jenis alasan-alasan itu maka dijadikannya hukum perceraian itu berbeda-beda. Tentang hukum perceraian ini dapat digolongkan menjadi empat golongan:
1. Golongan yang menyatakan hukum asal perceraian itu makruh atau mendekati makruh. Pendapat ini dilegimitasi oleh Maliki.
2. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asal perceraian dikategorikan sebagai jaiz dan haram, yaitu boleh dan terlarang. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.
3. Golongan yang menyatakan bahwa hukum asala perceraian adalah antara terlarang dan makruh. Pendapat ini dikemukan oleh al Kasani.
4. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukum asal perceraian adalah mubah.
            Sedangkan apabila dilihat dari sudut latar belakang munculnya talak, maka talak terbagi dalam lima kategori :
1. Talak Wajib
Yakni talak yang dijatukan oleh hakam (penengah) karena perpecahan anatara suami istri yang sudah hebat, maka hakam berpendapat bahwa hanya talak yang merupakan jalan satu-satunya jalan untuk menghentikan adanya perpecahan itu.
2. Talak haram
Yakni apabial talak merugikan suami istri, dan apabila perbuatan talak itu tidak ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
3. Talak sunnah
Yakni apabila talak dilakukan karena salah satu pihak melalaikan atau mengabaikan kewajiban untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa dan lain sebagainnya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istrinya menjalankan kewajiban tersebut atau istri tidak punya rasa malu.
4. Talak mubah
Karena adanya suatu sebab istri tidak dapat menjaga diri dan harta suaminya dikala tidak ada suaminya atau karena istri tidak baik akhlak dan budipekertinya.
5. Talak makruh
Yakni talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri yang saleh atau yang berbudi mulia
.

2.3 TUGAS KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 
Dalam perspektif  Islam, suami dan istri merupakan mitra dan rekan kerja di tengah keluarga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan membentuk keluarga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah tangga sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis untuk bekerjasama dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai spiritualitas dan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan.            Hal yang mendominasi keluarga Islami adalah spirit kasih sayang dan solidaritas, bukan ajang kompetisi dan konfrontasi. Suami dan istri harus melakukan perkara-perkara kehidupan secara bersama-sama dan melangkah seirama. Masalah ini menjadi mudah dengan pembagian kerja dan tanggung jawab dan pada akhirnya akan menciptakan peluang untuk membangkitkan sentimen positif serta kesuksesan dalam kehidupan berumah tangga            Program pertama suami-istri pasca pernikahan adalah pembagian kerja. Islam memperkenalkan peran yang berbeda bagi para suami dan istri dengan memperhatikan perbedaan fisik dan mental mereka dan dengan tujuan untuk menciptakan peluang kerjasama di tengah keluarga. Ketenangan dan kedamaian rumah tangga akan terjamin jika tugas-tugas tersebut ditunaikan dengan baik dan benar.                                                                                     Kaum pria dan wanita memiliki karakteristik yang berbeda dalam kehidupan dan untuk itu, mereka memikul tugas-tugas yang berbeda pula. Suami adalah kepala keluarga, sementara istri adalah sekjennya. Keluarga adalah ibarat sebuah rumah yang memiliki kerangka, di mana pilar dan atapnya akan memperkokoh bangunan itu. Atapnya bertanggung jawab untuk mencegah krisis, hujan dan beban-beban yang berat. Sementara pilar-pilarnya bertugas menyangga atap. Menurut Islam, suami berfungsi sebagai atap bangunan dan istri sebagai pilarnya. Atap tanpa pilar tidak akan berdiri dan pilar tanpa atap tidak akan kokoh.      Para suami harus siap menghadapi berbagai tantangan di luar rumah mengingat mereka lebih kuat secara fisik dan mental. Mereka harus mencegah semua badai yang akan menerpa bangunan tersebut dan memberi perlindungan yang cukup. Jika para suami tidak siap, maka berbagai krisis akan menembus dinding bangunan itu. Sementara para istri berperan sebagai tiang bangunan. Lalu, apakah mungkin para istri memainkan peran ganda dalam satu waktu? Perlu diingat bahwa ada serangkaian sifat intrinsik dalam diri pria dan wanita dan tentu ini bukan sebuah keutamaan jika wanita harus menjalankan peran pria atau pria memainkan peran wanita.                                                                                                        Pembagian kerja dalam kehidupan merupakan salah satu aturan yang ada di alam semesta dan akan menciptakan keseimbangan kehidupan berumah tangga. Dalam kehidupan rumah tangga, suami-istri masing-masing harus menerima sebagian tanggung jawab. Dalam pembagian kerja, akal sehat dan maslahat menetapkan bahwa tugas-tugas yang memerlukan kekuatan fisik harus dibebankan kepada kaum lelaki, sementara kegiatan yang membutuhkan kelembutan dan kasih sayang harus diserahkan kepada kaum wanita. Oleh karena itu, Islam menetapkan status ibu sebagai peran khusus untuk wanita dan urusan mencari nafkah sebagai tugas khusus bagi seorang pria. Lalu, bagaimana pandangan Islam terkait pekerjaan rumah? Apakah Islam menganggapnya sebagai kewajiban istri atau suami?                                                                                                                                                    Menurut perspektif Islam, istri – dari segi moral, mental dan kejiwaan – lebih tepat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Akan tetapi, pada prinsipnya – menurut hukum Islam – sama sekali tidak ada kewenangan yang membolehkan untuk membebani pekerjaan rumah kepada istri dan dalam masalah-masalah seperti ini, ia memiliki kebebasan untuk memilih. Satu-satunya tugas istri di rumah adalah melayani suami dan menyatakan kesetiaan kepadanya. Sementara perkara-perkara seperti, menyusui, mencuci pakaian dan membersihkan rumah, adalah bukan tugas istri. Imam Khomeini ra mengatakan, "Suami tidak punya hak untuk memaksa istrinya mengabdi di rumah."                                                        Meskipun Islam tidak membebani pekerjaan-pekerjaan rumah kepada istri, namun melalui pesan-pesan moralnya, menganjurkan mereka untuk memperhatikan urusan rumah tangga dan menganggap tugas itu sebagai ibadah. Karena untuk menciptakan keseimbangan di institusi keluarga, pembagian kerja merupakan sebuah keniscayaan dan oleh sebab itu, suami bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat di luar rumah. Rasul Saw dalam sebuah pesannya kepada kaum wanita, bersabda, "Setiap istri yang melakukan sebuah pekerjaan di rumah suaminya dengan niat untuk memperbaiki urusan di rumah, Tuhan akan memandangnya dengan rahmat dan orang yang ditatap dengan rahmat, tentu ia tidak akan mendapat siksa."                                                                                                          Mengenal praktik para pemuka agama dalam mengelola urusan rumah tangga dan keterlibatan mereka di dalam rumah, dapat menjadi teladan untuk memperkuat pondasi keluarga. Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Suatu hari, Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as meminta pandangan Rasul Saw terkait pembagian kerja. Rasul Saw bersabda, 'Tugas-tugas di dalam rumah menjadi tanggung jawab Fatimah, sementara pekerjaan-pekerjaan di luar rumah berada di pundak Ali.' Mendengar itu, Sayidah Fatimah as dengan gembira berkata, 'Tidak ada yang mengetahui – selain Tuhan – betapa senangnya aku atas pembagian tugas ini. Sebab, Rasul melarangku untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kaum lelaki atau mengharuskanku untuk bolak-balik di tengah mereka.'"                                                                                                                               Ucapan Sayidah Fatimah as dengan jelas memperlihatkan prinsip kesesuaian kerja dengan para pelaksananya. Pada dasarnya, riwayat tersebut menunjukkan bahwa pria dan wanita masing-masing memiliki tugas, tanggung jawab dan hak. Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menetapkan bentuk tanggung jawab, tugas dan hak yang sesuai dengan kapasitas pria dan wanita. Tentu saja, pembagian ini tidak berarti keunggulan satu pihak dan kerendahan pihak lain.                                                                                                                                           Dari sisi lain, manajemen rumah tangga merupakan sebuah keahlian dan bagian dari pengabdian kepada suami yang memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Islam mempermudah pekerjaan-pekerjaan rumah dengan meningkatkan motivasi spiritual wanita dalam menatanya. Rasa lelah dan kepenatan akan hilang dari raut wajah seorang istri ketika ia mengetahui bahwa semua pengabdiannya di rumah dihitung sebagai ibadah dan untuk mendapatkan keridhaan Tuhan. Ia akan selalu semangat untuk menata pekerjaan rumah, mengabdi kepada suami dan mengurusi anak-anak.                                                                                    Tidak hanya itu, Islam juga mendorong suami untuk membantu sang istri dalam melakukan tugas-tugas di rumah dan tidak menganggapnya semata-mata sebagai tugas istri. Kebersamaan ini akan mempererat jalinan cinta dan solidaritas di antara suami-istri. Ada banyak riwayat yang berbicara tentang partisipasi Imam Ali as dalam membantu Sayidah Fatimah as di rumah. Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Amirul Mukminin (Imam Ali as) senantiasa mengumpulkan kayu bakar, mengangkut air dan menyapu, sementara Fatimah menggiling gandum, mengaduk adonan dan membuat roti."                                                            Islam sejak awal menganggap wanita dari sisi kemanusiaan sejajar dengan pria dan memberi peran istimewa kepada mereka baik di tengah keluarga maupun di tengah masyarakat. Oleh karena itu, agama ini sama sekali tidak malarang kaum wanita untuk terlibat kegiatan sosial dan berpartisipasi dalam urusan-urusan sosial selama tidak menghalangi tanggung jawab utama mereka, atau mereka sendiri yang memilih untuk fokus pada pekerjaan rumah. Islam memperkenankan wanita untuk memikul beberapa bentuk kegiataan sosial yang sesuai dengan karakteristik fisik dan mental mereka. Dalam budaya Islam, tugas utama wanita adalah berperan sebagai istri dan ibu, sementara pekerjaan rumah adalah sebuah pilihan dan jika dikerjakan, akan mendapat pahala ibadah.















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mencari keturunan yang shalih yang mana keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Perceraian dalam islam hukumnya halal tetapi paling dibenci oleh Allah SWT.
Dalam perspektif  Islam, suami dan istri merupakan mitra dan rekan kerja di tengah keluarga. Keduanya ingin mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dengan membentuk keluarga. Oleh sebab itu, mereka tidak memandang rumah tangga sebagai ajang kompetisi dan tempat untuk mencari keunggulan, tapi basis untuk bekerjasama dan membangun solidaritas demi meningkatkan nilai-nilai spiritualitas dan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan.
           
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.








DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat IBandung : CV Pustaka Setia

No comments:

Post a Comment